Umar bin khattab ra Keadilan Pemimpin Islam Menyikapi Penggusuran Tanah

   Umar bin khattab ra Keadilan Pemimpin Islam Menyikapi Penggusuran Tanah

KH Abdurrahman Arroisi , Lahir di kota Pemalang, Jawa Tengah, dengan nama Abdurrahman, pada 3 Desember 1944, dari pasangan H. Rois dan Hj. Munihah, K.H. Abdurrahman Arroisi yang dikenal pula sebagai Arman Arroisi, menghabiskan masa kanak-kanaknya dalam latar belakang keluarga agamis. Ayahnya seorang pengusaha batik sukses kala itu, selain juga dikenal sebagai pemain sepakbola ulung. Sedang ibunya hanya wanita desa sederhana, cara berpikir maupun kehidupan keseharian.

Karena dekat dengan K.H. Thosim Hanafi, paman dari pihak ibu yang merupakan ulama berpengaruh di Pemalang, Arman Arroisi menjadi akrab dengan kehidupan pesantren. Walau keluarga menyadari bakat seninya besar, lantaran sejak SMP ia sudah banyak menulis puisi dan naskah drama, Arman tetap harus masuk pesantren. Langkah tersebut bukan malah menghalangi bakatnya, namun justru mempertebal kritik sosial dari setiap karyanya.

Terbukti memang cerita-cerita yang ia bawakan dalam setiap ceramah maupun tulisannya, sering diambil atau dikembangkan dari berbagai kisah dalam kitab-kitab kuning. Berbagai kisah tersebut banyak disampaikan K.H. Abdurrahman Arroisi lewat seri buku 30 Kisah Teladan. Serial buku ini di masa terbitnya pernah dicetak ulang hingga 13 kali. Serial buku ini hingga sekarang masih dikagumi para pembacanya, antara lain melalui berbagai cuplikan dan review positif yang beredar di internet.

sumber https://binziadk.wordpress.com/2021/04/20/biografi-singkat-k-h-abdurrahman-arroisi/

Pembebasan Tanah Cara Khalifah Umar

Oleh: Prof. Dr. Fahmi Amhar 

Gubernur Mesir Amr bin Ash berencana membangun sebuah masjid besar.  Di tanah yang akan ditempati, terdapat sebuah gubuk reyot milik seorang Yahudi. Lalu dipanggil lah si Yahudi itu untuk diajak diskusi agar gubuk tersebut dibeli dan dibayar dua kali lipat. Akan tetapi si Yahudi tersebut bersikeras tidak mau pindah karena dia tidak punya tempat lain selain di situ. Karena sama-sama bersikeras, akhirnya turun perintah dari Gubernur Amr bin Ash untuk tetap menggusur gubuk tersebut. 

KH Abdurrahman Arroisi dalam salah satu jilid bukunya 30 Kisah Teladan (1989) menjelaskan, si Yahudi merasa diperlakukan tidak adil, menangis berurai air mata, kemudian dia melapor kepada khalifah, karena di atas gubernur masih ada yang lebih tinggi. Dia berangkat dari Mesir ke Madinah untuk bertemu dengan Khalifah Sayyidina Umar bin Khattab. Di sepanjang jalan, si Yahudi ini berharap-harap cemas dengan membanding bandingkan. "Kalau gubernurnya saja istananya begitu mewah, bagaimana lagi istananya khalifahnya? Kalau gubernrunya saja galak main gusur apalagi khalifahnya dan saya bukan orang Islam apa ditanggapi jika mengadu?”.

Sesampai di Madinah dia bertemu dengan seorang yang sedang tidur-tiduran di bawah pohon Kurma. dia hampiri dan bertanya, bapak tau dimana khalifah Umar bin Khattab? Dijawab orang tersebut, ya saya tau.
Di mana Istananya?. Istananya di atas lumpur, pengawalnya yatim piatu, janda-janda tua, orang miskin dan orang tidak mampu.  Pakaian kebesarannya malu dan taqwa. 

Si Yahudi tadi malah bingung dan lalu bertanya sekarang orangnya di mana pak? Ya di hadapan tuan sekarang. Gemetar Yahudi ini keringat bercucuran, dia tidak menyangka bahwa di depannya adalah seorang khalifah yang sangat jauh berbeda dengan gubernurnya di Mesir. 

Sayiddina Umar bertanya, kamu dari mana dan apa keperluanmu?. Yahudi itu cerita panjang lebar tentang kelakuan Gubernur Amr bin Ash yang akan menggusur gubuk reotnya di Mesir sana. Setelah mendengar ceritanya panjang lebar, Sayyidina Umar menyuruh Yahudi tersebut mengambil sepotong tulang unta dari tempat sampah di dekat situ. Lalu diambil pedangnya kemudian digariskan tulang tersebut lurus dengan ujung pedangnya, dan disuruhnya Yahudi itu untuk memberikannya kepada Gubernur Amr bin Ash. 

Makin bingung si Yahudi ini dan dia menuruti perintah Khalifah Sayyidina Umar tersebut. Sesampai di Mesir, Yahudi ini pun langsung menyampaikan pesan Sayyidina Umar dengan memberikan sepotong tulang tadi kepada Gubernur Amr bin Ash. 

Begitu dikasih tulang, Amr bin Ash melihat ada garis lurus dengan ujung pedang, gemetar dan badannya keluar keringat dingin lalu dia langsung menyuruh kepala proyek untuk membatalkan penggusuran gubuk Yahudi tadi. Amr bin Ash berkata pada Yahudi itu, ini nasehat pahit buat saya dari Amirul Mukminin Umar bin Khattab, seolah-olah beliau bilang ‘hai Amr bin Ash, jangan mentang-mentang lagi berkuasa, pada suatu saat kamu akan jadi tulang-tulang seperti ini. Maka mumpung kamu masih hidup dan berkuasa, berlaku lurus dan adillah kamu seperti lurusnya garis di atas tulang ini. Lurus, adil, jangan bengkok, sebab kalau kamu bengkok maka nanti aku yang akan luruskan dengan pedang ku. 

Singkat cerita, setelah melihat keadilan yang dicontohkan Sayyidina Umar tersebut, akhirnya Yahudi itu menghibahkan gubuknya tadi buat kepentingan pembangunan masjid, dan dia pun masuk Islam oleh karena keadilan dari Umar bin Khattab.

Hikmah/Pelajaran:

1. Bahkan untuk membangun fasilitas umum seperti masjid saja, penguasa tidak boleh sewenang-wenang menggusur penduduk, sekaligpun diganti harganya 2x.  Apalagi kalau itu sekedar membangun untuk investasi, oleh asing lagi.

2. Keadilan ini berlaku juga bagi non muslim.

3. Khalifah Umar tidak menunggu kasus ini menjadi objek demo besar-besaran, jadi rusuh, lalu viral.  Meski baru satu orang yang komplen, Umar tidak berkilah dengan mengatakan, "Ah itu kan cuma soal komunikasi saja", lalu "Soal kayak gini saja koq harus sampai ke Khalifah!".

4. Keadilan ini hanya bisa tegak, bila penguasanya adalah orang yang bertaqwa, bukan orang yang tergadai hatinya oleh dunia.

5. Keadilan seperti ini baru bisa terwujud bila referensi hukum yang dipakai negara adalah Kitabullah, bukan referensi yang dapat diubah-ubah kapan saja oleh rakyat (atau yang mengaku mewakilinya) seperti dalam sistem demokrasi.  Karena dalam sistem demokrasi, kapan saja bisa muncul UU yang sah, sekalipun dengan UU itu bisa ada perampasan tanah rakyat secara legal, seperti yang terjadi di daerah-daerah yang sebenarnya berstatus tanah adat, yang tiba-tiba muncul HGU/HGB untuk swastas dengan istilah konsesi, atau tanah hak milik yang dibeli-paksa dengan alasan demi "kepentingan umum".

Wallahu 'alam.

https://www.askara.co/read/2023/09/20/39387/pembebasan-tanah-cara-khalifah-umar

Keadilan Pemimpin Islam Menyikapi Penggusuran Tanah

Oleh: Muhammad Syafii Kudo

Dalam salah satu bukunya yang bertajuk 30 Kisah Teladan, KH Abdurrahman Arroisi pernah menuliskan tentang keteladanan Khalifah Umar Bin Khattab Radiyallahu Anhu.  Ketika itu sang Khalifah didatangi oleh seorang Yahudi tua asal Mesir yang mengeluh kepadanya tentang masalah penggusuran tanah nya.

Kediamannya terancam digusur oleh penguasa demi kepentingan umum, ketertiban, dan keindahan.   Si Yahudi dengan keras memprotes kesewenang-wenangan Gubernur Mesir saat itu, Amr bin Ash, yang konon akan memperluas bangunan Masjid yang melintas di atas tanah miliknya.

Yahudi tua yang miskin itu mengaku lahan tanah miliknya memang sebagian masih berawa-rawa. Dan dia tinggal di situ dengan menempati sebuah gubuk reot yang hampir roboh.  Dia menceritakan kepada Khalifah Umar Bin Khattab, bila Gubernur Mesir Amr bin Ash meminta kepadanya agar meninggalkan rumahnya karena di situ akan dibangun sebuah rumah gubernur dan masjid yang megah.

Demi melaksanakan cita-citanya, maka Amr bin Ash kemudian memanggil Si Yahudi tua itu agar menghadapnya untuk merundingkan besaran uang dan kompensasi yang akan diterimanya. Sampai akhir pertemuan, kepada Khalifah Umar dia mengatakan tetap tak mau memberikan tanah dan rumahnya untuk dijual kepada sang Gubernur Mesir tersebut.

Si  Yahudi ini tetap berkeras tak mau menjual rumahnya yang reot tersebut karena hal itu adalah  harta berharga satu-satunya. Meski demikian, seusai pertemuan tanpa kesepakatan itu, Gubernur Amr bin Ash memutuskan melalui “undang-undang” untuk tetap membongkar rumah Si Yahudi  dan mendirikan masjid besar di atas tanahnya dengan alasan yang sama, yakni demi “kepentingan negara” dan memperindah infrastruktur kota.

Kakek Yahudi sang pemilik tanah dan rumah reyot itu kemudian mengatakan kepada Khalifah Umar bin Khatab bila tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi tindakan penguasa. Ia cuma mampu menangis dalam hati. Meski begitu ia tidak putus asa dengan tetap terus berusaha memperjuangkan haknya.

Maka dia pun bertekad hendak mengadukan perbuatan gubernur tersebut kepada atasannya di Madinah, yaitu Khalifah Umar bin Khattab. Untuk itu dia pun berangkat mengarungi panjangnya jalur jalan di gurun pasir yang panas menyengat, menuju ke Madinah demi menuntut haknya kepada atasan Amr bin Ash, yakni Khalifah Umar bin Khatab.

Setelah mendengar aspirasi dari salah satu rakyatnya itu,  Khalifah Umar lalu mengambil sebuah tulang unta dan menorehkan dua garis yang berpotongan: satu garis horizontal dan satu garis lainnya vertikal. Khalifah Umar lantas menyerahkan tulang itu pada Si Yahudi dan memintanya untuk memberikannya pada Amr bin ‘Ash. “Bawalah tulang ini dan berikan kepada gubernurmu. Katakan bahwa aku yang mengirimnya untuknya.”

Meski tidak memahami maksud Khalifah Umar, Si Yahudi tetap menyampaikan tulang tersebut kepada Amr sesuai pesan Khalifah Umar. Wajah Amr bin Ash mendadak pucat pasi saat menerima kiriman yang tak diduganya itu. Saat itu pula, ia mengembalikan rumah Si Yahudi yang digusurnya.

Melihat sikap gubernur Amr bin Ash yang berubah drastis itu dengan terheran-heran, Si Yahudi bertanya pada Amr bin ‘Ash tentang apa yang terjadi. Amr menjawab, “Ini adalah peringatan dari Umar bin Khattab agar aku selalu berlaku lurus (adil) seperti garis vertikal pada tulang ini. Jika aku tidak bertindak lurus maka Umar akan memenggal leherku sebagaimana garis horizontal di tulang ini.”

Betapa takjubnya Si Yahudi tersebut dengan keadilan yang dijamin di dalam sebuah negara yang mengikatkan segala kebijakannya kepada ajaran mulia Rasulullah ﷺ. Berbagai kisah keadilan pemerintahan Islam di berbagai catatan sejarah bahkan membuat PM Inggris keturunan Yahudi, Benyamin Disraeli berpendapat bahwa sejarah umat Yahudi di bawah kekuasaan pemerintah Islam kala itu diwarnai romantisme dan kemesraan.

Jika umat Islam hari ini menapak tilasi kisah keadilan pemerintahan Islam terhadap warga negaranya baik yang Muslim maupun Kafir Dzimmi, tentu satu hal yang akan muncul di benak mereka, yakni betapa gambaran ideal berupa keadilan zaman Khalifah Umar mungkin hanya akan jadi romantisme masa lalu belaka. Di tengah gempita politik transaksional dan jeratan Oligarki yang kian menggurita saat ini, keadilan penguasa seperti Sayyidina Umar kian menjadi Utopia belaka dan nampak bak “dongeng” di buku-buku sejarah.

Kisah Khalifah Umar bin Khattab, di mana seorang penguasa  yang adil, yang berkenan mendengarkan keluhan satu warganya yang bahkan tidak sejalan dalam Iman dengannya, bandingkan dengan hari ini yang bukan hanya satu orang saja, tetapi ribuan orang di beberapa daerah yang tanahnya diambil paksa oleh “negara” seolah tidak didengar  suaranya.

Kita tentu ingat para ibu-ibu desa yang rela mengecor kakinya karena tanah mereka diambil “negara” dan protes mereka tidak didengar. Ada lagi yang sedang hangat, di sebuah desa puluhan warganya diambil paksa oleh aparat di rumahnya bahkan ibu-ibu yang sedang berlindung dan berdoa di Masjid pun dikepung.

Berbagai aksi ambil paksa tanah oleh pihak yang mengatasnamakan negara memang selalu menyisakan luka yang mendalam. Sebab yang diambil bukan hanya perkara segunduk tanah melainkan lebih dalam dari hal itu yakni akar sosial, budaya, memori  dan bahkan kehidupan si penghuni tanah itu sendiri. Dan jika boleh jujur tentu tidak ada seorang anak manusia pun yang berkenan dipisahkan dari akar kehidupannya.

Jika pembahasan yang menjadi hal utama dalam pembebasan tanah adalah demi kepentingan “negara”, maka pendekatan kemanusiaan dan keadilan sosial  yang mestinya dikedepankan. Bukan dengan pendekatan kekerasan sehingga muncul celetukan dari warganet di dunia maya yang menyatakan bahwa mengukur tanah itu harusnya dengan meteran bukan dengan aparat berseragam yang dikerahkan berkompi-kompi, demikian sindiran warganet di sosial media.

Menarik jika kita boleh meminjam ungkapan dari sastrawan kondang Pramoedya Ananta Toer yang pernah berkata, “Orang yang tak pernah mencangkul justru paling rakus menjarah tanah dan merampas hak orang lain.”

Nampak sekali jika penulis yang pernah berseteru keras dengan Buya Hamka itu sangat keras menyindir para “kaum berdasi” yang tidak pernah turun ke sawah (kehidupan rakyat kecil) yang kerjanya membuat undang-undang di parlemen dan otaknya dipenuhi gambaran cuan dari berbagai proyek besar yang tidak jarang diatasnamakan demi proyek nasional. Entah mereka disebut penguasa yang sedang berusaha atau pengusaha yang sedang berkuasa, karena saat ini kian sulit ditarik garis pembeda di antara mereka.

Padahal tidak selamanya mereka yang gemar berteriak atas nama negara adalah mereka yang paling cinta negaranya dan tidak mesti pula mereka yang selama ini luput dari sorotan malah mereka lah yang hakikatnya paling cinta negara yang mereka buktikan dengan kerja-kerja nyata seperti menggarap sawah dan laku khas masyarakat kecil lainnya.

Ingat bahwa Nelson Mandela pernah berkata, “Penjahat itu tak pernah membangun Negara, mereka hanya memperkaya diri sambil merusak Negara.”

Kalimat Presiden anti-Apartheid itu nampak benar adanya kini terjadi di berbagai belahan bumi tidak terkecuali di negeri tercinta ini. Hal itu terbukti dengan perlakuan istimewa yang masih terjadi kepada para maling uang rakyat dan cukong perusak lingkungan serta pengusaha hitam yang bermandi cuan selama pandemi ini. Padahal merekalah yang selama ini merusak negara dengan atas nama negara.

Walhasil sebagai sesama anak bangsa sudah seharusnya rakyat dan wakil rakyat bisa saling memahami dan menyelesaikan segala sesuatu dengan kepala dingin dan pendekatan musyawarah khas negeri Pancasila.

Semangat mendahulukan kepentingan rakyat hendaknya dinomor-satukan di atas kepentingan Konglomerat. Dan jangan ada pihak yang sedang diamanahi kuasa bermain-main dengan kepentingan pribadi atau golongannya dengan mengatasnamakan kepentingan negara. Ingat Tuhan tidak tidur, semua akan dipertanggung-jawabkan kelak di hadapanNya.

Semoga kisah keadilan Sayyidina Umar bin Khattab Radiyallahu Anhu di atas bisa menjadi pengingat dan cermin bagi mereka yang sedang diamanahi mengurusi hajat hidup rakyat saat ini. Islam adalah agama yang terdepan dalam melawan kedzoliman, dan tentunya para pemimpin beragama Islam harusnya menjadi garda terdepan dalam melawan kedzaliman dan bukan malah menjadi pelaku kedzaliman itu sendiri.

Ingat, Rasulullah ﷺ pernah bersabda;

عَنْ سَالِمٍ، عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:

مَنْ أَخَذَ مِنْ الأَرْضِ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ خُسِفَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى سَبْعِ أَرَضِينَ

“Barangsiapa mengambil sejengkal tanah bumi yang bukan haknya, niscaya ditenggelamkan ia pada hari kiamat sampai ke dalam tujuh lapis bumi.” (HR. Bukhari).

 Wallahu A’lam Bis Showab.*

Tinggal di Pasuruan

https://hidayatullah.com/artikel/mimbar/2022/02/14/224984/kisah-umar-bin-khattab-keadilan-pemimpin-islam-menyikapi-penggusuran-tanah.html

Khalifah Umar Menegur Gubernur Amr bin Ash

Sumber: https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/khalifah-umar-menegur-gubernur-amr-bin-ash-zDi1j

Kehidupan Khalifah Umar bin Khattab tidak lepas dari memperhatikan kesejahteraan, keamanan, dan keadilan warganya. Suatu ketika Umar mendapat laporan bahwa putra Gubernur Mesir telah menempeleng seorang warga negara tanpa sebab berarti dibanding perlakuan yang telah didapatnya itu. Seketika, Umar segera memanggil sang Gubernur yang tak lain adalah Amr bin Ash untuk menghadapkan putranya dan mempertanggungjawabkan perbuatannya yang dinilai sewenang-wenang itu. Di hadapan Gubernur Mesir dan putranya itu, Khalifah Umar memperlihatkan ketegasannya dengan kata-kata yang hingga kini termasyhur menjadi sebuah doktrin. Umar berkata:


Ilaa mataa ista’badtum an naasa wa qod waladathum ummahatuhum ahroron? (Sampai kapan kalian memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka?) Konon, menurut riwayat yang diceritakan oleh KH Saifuddin Zuhri dalam buku karyanya Berangkat dari Pesantren (2013) itu, doktrin Sayyidina Umar tersebut yang menguatkan jalan perjuangan para kiai dan ulama di Indonesia dalam mengusir penjajah dari tanah air.

Dalam sejarahnya, keprihatinan dan peran sentral para kiai dari kalangan pesantren dalam menghidupkan kesadaran bangsa Indonesia untuk merdeka dari kungkungan penjajah begitu tinggi. 

Bahkan atas langkahnya itu, pesantren selalu mendapat sorotan dari pihak kolonial karena dianggap mampu memobilisasi kekuatan rakyat untuk melakukan perlawanan. Bagi bangsa Indonesia, perlawanan wajib dilakukan kepada penjajah atas perlakuannya yang tidak berperikemanusiaan. Ketegasan Khalifah Umar kepada Amr bin Ash bukan kali itu saja. Amr bin Ash berencana akan membangun sebuah masjid besar di tempat gubuk tersebut dan otomatis harus menggusur gubuk reot Yahudi itu. Lalu dipanggil lah si Yahudi itu untuk diajak diskusi agar gubuk tersebut dibeli dan dibayar dua kali lipat.

Akan tetapi si Yahudi tersebut bersikeras tidak mau pindah karena dia tidak punya tempat lain selain di situ. Karena sama-sama bersikeras, akhirnya turun perintah dari Gubernur Amr bin Ash untuk tetap menggusur gubuk tersebut. KH Abdurrahman Arroisi dalam salah satu jilid bukunya 30 Kisah Teladan (1989) menjelaskan, si Yahudi merasa dilakukan tidak adil, menangis berurai air mata, kemudian dia melapor kepada khalifah, karena di atas gubernur masih ada yang lebih tinggi. Dia berangkat dari Mesir ke Madinah untuk bertemu dengan Khalifah Sayyidina Umar bin Khattab. Sepanjang jalan si Yahudi ini berharap-harap cemas dengan membanding bandingkan kalau gubernurnya saja istananya begitu mewah, bagaimana lagi istananya khalifahnya? Kalau gubernrunya saja galak main gusur apalagi khalifahnya dan saya bukan orang Islam apa ditanggapi jika mengadu?” Sesampai di Madinah dia bertemu dengan seorang yang sedang tidur-tiduran di bawah pohon Kurma, dia hampiri dan bertanya, bapak tau dimana khalifah Umar bin Khattab? Dijawab orang tersebut, ya saya tau, Di mana Istananya? Istananya di atas lumpur, pengawalnya yatim piatu, janda-janda tua, orang miskin dan orang tidak mampu.  Pakaian kebesarannya malu dan taqwa. Si Yahudi tadi malah bingung dan lalu bertanya sekarang orangnya di mana pak? Ya di hadapan tuan sekarang. Gemetar Yahudi ini keringat bercucuran, dia tidak menyangka bahwa di depannya adalah seorang khalifah yang sangat jauh berbeda dengan gubernurnya di Mesir.

Sayiddina Umar bertanya, kamu dari mana dan apa keperluanmu? Yahudi itu cerita panjang lebar tentang kelakuan Gubernur Amr bin Ash yang akan menggusur gubuk reotnya di Mesir sana. Setelah mendengar ceritanya panjang lebar, Sayyidina Umar menyuruh Yahudi tersebut mengambil sepotong tulang unta dari tempat sampah di dekat situ. Lalu diambil pedangnya kemudian digariskan tulang tersebut lurus dengan ujung pedangnya, dan disuruhnya Yahudi itu untuk memberikannya kepada Gubernur Amr bin Ash. Makin bingung si Yahudi ini dan dia menuruti perintah Khalifah Sayyidina Umar tersebut. Sesampai di Mesir, Yahudi ini pun langsung menyampaikan pesan Sayyidina Umar dengan memberikan sepotong tulang tadi kepada Gubernur Amr bin Ash. Begitu dikasih tulang, Amr bin Ash melihat ada garis lurus dengan ujung pedang, gemetar dan badannya keluar keringat dingin lalu dia langsung menyuruh kepala proyek untuk membatalkan penggusuran gubuk Yahudi tadi. Amr bin Ash berkata pada Yahudi itu, ini nasehat pahit buat saya dari Amirul Mukminin Umar bin Khattab, seolah-olah beliau bilang ‘hai Amr bin Ash, jangan mentang-mentang lagi berkuasa, pada suatu saat kamu akan jadi tulang-tulang seperti ini. Maka mumpung kamu masih hidup dan berkuasa, berlaku lurus dan adillah kamu seperti lurusnya garis di atas tulang ini. Lurus, adil, jangan bengkok, sebab kalau kamu bengkok maka nanti aku yang akan luruskan dengan pedang ku. Singkat cerita, setelah melihat keadilan yang dicontohkan Sayyidina Umar tersebut, akhirnya Yahudi itu menghibahkan gubuknya tadi buat kepentingan pembangunan masjid, dan dia pun masuk Islam oleh karena keadilan dari Umar bin Khattab. Penulis: Fathoni Ahmad Editor: Muchlishon


 KH Abdurrahman Arroisi , tanah , hukum tanah



Komentar

Postingan populer dari blog ini

info kasus dago elos

nawisan kurma

modus mafia tanah di pengadilan